
“Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Internasional”
Disusun oleh: Dede Sopyan Assauri (031105083)
Enok Sopiatun (031105084)
Mia Widyandhini (031106023)
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Pakuan
Sejarah Bahasa
Sebagaimana kita ketahui, bahasa Indonesia yang sekarang ini berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Perjalanan yang ditempuh oleh bahasa Indonesia tak terpisahkan dengan perjalanan yang ditempuh oleh bangsa
Peristiwa bersejarah yang monumental bagi bangsa dan bahasa Indonesia adalah diikrarkannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 di
Nama “bahasa Indonesia” baru dikenal sejak 28 Oktober 1928, yang sebelumnya bernama “bahasa Melayu.” Bahasa Melayulah yang mendasari bahasa Indonesia yang kemudian diangkat menjadi bahasa persatuan. Masalah yang menarik perhatian para ahli sosiologi bahasa adalah kondisi apa yang memungkinkan bahasa Melayu dipilih dan disepakati untuk diangkat menjadi bahasa nasional. Dan, mengapa bukan bahasa Jawa atau Sunda yang jumlah penuturnya lebih banyak daripada bahasa Melayu.
Berikut ini dikemukakan beberapa alasan sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut.
1. Bahasa Melayu telah digunakan sebagai lingua franca (bahasa perhubungan) selama berabad-abad sebelumnya di seluruh kawasan tanah air kita. Hal tersebut tidak terjadi pada bahasa Jawa, Sunda, ataupun bahasa daerah lainnya.
2. Bahasa Melayu memiliki daerah persebaran yang paling luas dan yang melampaui batas-batas wilayah bahasa lain meskipun jumlah penutur aslinya tidak sebanyak penutur asli bahasa Jawa, Sunda, Madura, ataupun bahasa daerah lainnya.
3. Bahasa Melayu .masih berkerabat dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya sehingga tidak dianggap sebagai bahasa asing.
4. Bahasa Melayu bersifat sederhana, tidak mengenal tingkat-tingkat bahasa sehingga mudah dipelajari. Berbeda dengan bahasa Jawa, Sunda, dan Madura yang mengenal tingkat-tingkat bahasa.
Pada zaman penjajahan Belanda ketika Dewan Rakyat dibentuk, yakni pada 18 Mei 1918 bahasa Melayu memperoleh pengakuan sebagai bahasa resmi kedua, di samping bahasa Belanda yang berkedudukan sebagai bahasa resmi pertama di dalam sidang Dewan Rakyat
Masalah bahasa resmi muncul lagi dalam Kongres Bahasa Indonesia yang pertama di Solo pada tahun 1938. Pada kongres itu ada dua hasil keputusan yang penting, yaitu bahasa Indonesia diusulkan menjadi (1) bahasa resmi dan (2) bahasa pengantar dalam badan-badan perwakilan dan perundang-undangan.
Pada zaman pendudukan Jepang 1942-1945 bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar di semua tingkat pendidikan.
Tantangan Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Internasional
Dalam kamus besar bahasa Indonesia tantangan diartikan sebagai hal atau usaha yang bertujuan atau bersifat menggugah kemampuan. Dalam konteks kewarganegaraan, tantangan ini merujuk pada ketahanan nasional yakni hal yang berkaitan dengan tahan (kuat) keteguhan hati dan ketabahan bangsa.(Sunarso.dkk,175:2006)
Sedangkan Menjadi Bahasa Internasional diartikan sebagai salah satu konsep untuk memperkenalkan atau bahkan mengambil posisi penting di kancah internasional. Konsep Menjadi Bahasa Internasional dapat diartikan juga ketika bahasa Indonesia dapat memposisikan dirinya sebagai bahasa yang patut dihargai atau dapat menjadi bahasa internasional dan dapat memperoleh perhatian dunia dan memperkuat jati diri bangsa.
Era globalisasi menyuguhkan suatu tantangan yang harus dihadapi bangsa kita didalam segala aspek kehidupan, seperti dalam aspek ekonomi, politik, social, dan budaya. Dalam aspek kebahasaan, bahasa Indonesia yang selama ini menjadi bahasa nasional harus menjadi subyek dan tidak bersifat defensif (bertahan) lebih dari itu bahasa Indonesia harus menjadi bahasa yang “unik” di kancah internasional dengan kata lain bahasa Indonesia dapat menyandang predikat Menjadi Bahasa Internasional.
Problematika Bahasa
Problematika bahasa Indonesia banyak yang muncul dari dalam negara Indonesia sendiri.
Pertama, masalah internal yang menghambat bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Internasional, yakni masih banyaknya rakyat yang belum dapat memahami bahasa Indonesia. Kedua , budaya “simak ucap” yang masih melekat pada masyarakat Indonesia. Rendahnya minat “baca tulis” yang menjadi antonim dari budaya simak ucap terlihat jelas dari data yang disampaikan oleh UNESCO, salah satu badan di bawah naungan perserikatan bangsa-bangsa (PBB) melaporkan, Indonesia pada tahun 1973 mengalami book starvation (paceklik buku). Saat itu,
Masalah ekternal yang menjadi hambatan dalam mewujudkan bahasa
Solusi
Peluang untuk Menjadi Bahasa Internasional telah tersirat pada sejarah perkembangan bahasa pada tiap rumpunnya. Sebagai bahan perbandingan, 400 tahun lalu penutur asli bahasa Inggris berjumlah hanya sekitar lima sampai tujuh juta orang. Saat ini bahasa Inggris dipergunakan oleh lebih dari 315 juta penutur asli, ditambah 300 juta dan 100 juta sebagai penutur kedua dan 100 juta sebagai penutur asing.(Al Wasilah,17:2000). Pada tahun 1920-an orang yang mahir berbahasa Melayu berjumlah sekitar 3 juta(4,9 % dari jumlah penduduk), dan sekarang sekitar lebih dari 131 juta penduduk (83%) yang mahir atau mengerti bahasa Indonesia. Dan tidaklah berlebihan bila kita menargetkan pada tahun 2015 nanti sebanyak 250 juta penduduk telah mahir menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari. (Al Wasilah,58:2000).
Untuk mencapai cita-cita ini diperlukan suatu koordinasi dan kerjasama yang positif antara pemerintah, rakyat, media massa dan lembaga pendidikan.
Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan di negeri ini hendaknya tidak lebih mementingkan kepentingan asing. Pemerintah juga dapat berperan dalam menumbuh kembangkan budaya baca tulis dan melatih masyarakat untuk menjadi masyarakat literasi. Dengan mendirikan perpustakaan daerah yang dilengkapi oleh buku-buku yang bermutu.
Pusat bahasa sebagai serdadu pemerintah dalam pengembangan bahasa hendaknya dapat berperan aktif untuk meneliti, mengembangkan dan memfiltrasi bahasa asing yang masuk kemudian dengan cepat disesuaikan dengan kaidah tata bahasa Indonesia dan disosialisasikan kepada masyarakat
Rakyat hendaknaya tidak terpengaruh oleh budaya asing yang masuk serta dapat menyaring hal-hal negatif yang sebaiknya tidak diikuti.
Media massa dalam hal ini sebagai sumber informasi publik juga perlu mendapat perhatian khusus karena perannya sebagai penyampai informasi.
Lembaga pendidikan khususnya sekolah merupakan suatu sistem yang menangani ”proses pencerahan ilmu”. Di dalam lembaga ini, pelajar sebagai rakyat Indonesia diajarkan tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan maksud dapat memahami dan mengaplikasikannya secara baik. Kini banyak sekolah nasional berstandar internasional yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Padahal ini adalah salah satu cara bagaimana agar para pelajar di Indonesia lebih bangga dengan hal-hal yang berhubungan dengan internasional. Belum lagi munculnya UU BHP, dimana dengan UU tersebut pemerintah akan lepas tangan, dan pendidikan diserahkan ke pihak swasta atau asing, sehingga hal ini semakin memudahkan asing untuk masuk ke dalam dunia pendidikan Indonesia.
Oleh karena itu diperlukan kolaborasi ”epik” antara rakyat, pemerintah, media massa dan lembaga pendidikan dalam mewujudkan harapan bahasa Indonesia ” Menjadi Bahasa Internasional”, terlepas dari semua keniscayaan yang ada terkandung suatu harapan bahwa Indonesia akan ”bertahan” dan ”menyerang”, menjadi sebuah negara yang diperhitungkan jika kita sebagai rakyat Indonesia bangga akan predikat bhinneka budaya dan secara tangguh berani bersaing di kancah internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Wasilah, Yad.1999. Antropologi Untuk SMU Kelas 3. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Al-Wasilah, A. Chaedar. 2000.Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya
Budiansyah, Dasim dan Sunatra. 1984.Sosiologi dan Antropologi. Bandung: Epson Group
Parerai, J.D dan Tasai.1996. Terampil Berbahasa Indonesia 4. Jakarta:Perum Balai Pustaka
Esten, Mursai.2008. Bahasa dan Sastra Sebagai Identitas Bangsa Dalam Proses Globalisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar